Resensi Cerita KKN Desa Penari

Cerita KKN Desa Penari pertama kali muncul pada thread twitter oleh akun @SimpleM81378523 dan kemudian menjadi trending topik. Cerita ini terbagi menjadi dua perspektif dari dua tokoh yang berbeda yaitu dari sudut pandang Widya dan sudut pandang Nur. Widya dan Nur adalah dua tokoh yang terlibat dalam kisah tersebut. Semua nama, lokasi, universitas, dan fakultas dalam cerita ini disamarkan.

Cerita berawal dari sekelompok mahasiswa angkatan 2005-2006 yaitu Nur, Widya, Ayu, Bima, Wahyu, dan Anton yang melakukan kegiatan KKN selama 6 minggu pada akhir tahun 2009. Suatu malam Ayu dan Nur sedang membahas progam KKN mereka. Ayu berkata kepada Widya bahwa Mas Ilham, kakak Ayu memiliki tempat yang cocok untuk KKN mereka. Mas Ilham akan mengantarkan mereka ke desa yang mereka gunakan untuk KKN. Berangkatlah Ayu, Nur, dan Mas Ilham ke desa tersebut, perjalanan dari tempat mereka ke desa menempuh waktu selama 4-6 jam. Dalam perjalanan, Nur mempunyai perasaan yang tidak enak terlebih saat di jalan bertemu dengan kakek-kakek pengemis yang menggelengkan kepala seakan mengisyaratkan untuk tidak pergi ke sana. Mas Ilham berkata bahwa desa ini masuk ke dalam hutan dan belum ada jalan mobil untuk akses masuk, sehingga mereka harus menggunakan motor dan melewati hutan untuk masuk ke desa tersebut.

Di tengah-tengah perjalanan masuk ke desa, Nur melihat seorang wanita cantik yang sedang menari di tas batu, parasnya elok dengan tatapan mata yang tajam, melihat, dan tersenyum ke arah Nur, namun ketika Nur melihatnya lagi wanita itu sudah tidak ada. Dari situ Nur sudah tahu bahwa ada sesuatu yang menyambut mereka masuk ke desa tersebut. Mereka pun sampai di rumah temannya Mas Ilham yang bernama Pak Prabu, ia adalah seorang kepala desa. Pak Prabu berkata bahwa desa ini belum pernah dipakai untuk KKN. Mulanya Pak Prabu menentang adanya KKN tersebut namun Mas Ilham tetap bersikukuh karena sudah kesulitan mencari tempat untuk KKN. Akhirnya Pak Prabu pun iba dan memperbolehkan mereka untuk KKN di desa tersebut. Setelah mendapatkan izin, mereka diajak untuk berkeliling desa untuk melihat desanya. Ditengah perjalanan Nur melihat batu yang ditutupi oleh kain yang dibawahnya terdapat sesajen dan kemenyan, di atas batu itu Nur melihat sesosok hitam dengan mata picing yang merah menyala, sekujur badannya ditutupi oleh rambut dan ada tanduk kerbau di kepalanya. Nur dan makhluk tersebut saling bertatapan, kemudian Nur meminta kepada Ayu untuk pulang saja. Makhluk tersebut dikenal sebagai genderuwo. Di mobil Ayu berkata kepada Nur, untuk mengajak Bima, Widya, dan kakak seniornya untuk masuk grub KKN mereka. Awalnya Nur sempat menolak yang bernama Bima, tetapi akhirnya mengizinkannya. Nur dan Bima adalah teman lama, mereka pernah satu pondok.

Sampai di hari mereka berangkat untuk KKN mereka, sebenarnya dari awal ibu Widya sudah memiliki firasat yang tidak enak tentang desa KKN mereka, namun karena mereka sangat membutuhkan akhirnya ibu Widya mengizinkannya. Mereka berangkat menggunakan elf. Gerimis mulai turun, tiba-tiba di lampu merah ada seorang pengemis perempuan tua yang tiba-tiba menggebrak kaca mobil mereka dan membuat semua orang di dalam mobil kebingungan. Akhirnya Pak sopir melempar uang receh kepada pengemis itu. Pada saat Nur berbalik badan melihat pengemis tua itu, bibir pengemis itu seakan berkata "jangan berangkat nak". Sampai diujung akses mobil, mereka dijemput dengan motor oleh penduduk setempat sama seperti sebelumnya. Di tengah perjalanan Nur mendengar suara gamelan, makin lama suara tersebut makin terdengar dan Nur juga mencium aroma melati. Nur masih mencari darimana suara gamelan itu berasal. Tepat diantara rerumputan di sebelah jalan setapak, Nur melihat seorang perempuan menunduk, perempuan itu mengikuti Nur sambil melenggak-lenggokan lehernya serta tangannya mengikuti alunan gamelan. Perempuan tersebut menari digelapnya malam di tengah sunyinya hutan. Sesampainya di tempat tujuan. Widya mengeluh perjalanan ke desa sangat jauh namun Pak Prabu menyangkal bahwa perjalanannya hanya menempuh waktu 30 menit. Mendengar hal itu Nur hanya diam, pada saat itu Nur melihat satu sosok hitam dengan mata merah yang mengintai mereka dari balik pohon.

Mereka berenam diajak keliling desa melihat lokasi-lokasi untuk program kerja mereka. Di tengah jalan mereka melihat kuburan yang semua batu nisan ditutupi oleh kain hitam. Itu menandakan bahwa area tersebut adalah area pemakaman. Pemakaman tersebut juga dikelilingi oleh pohon beringin dan sesajen. Nur merasa tidak enak badan dan dia meminta izin untuk kembali ke penginapan terlebih dahulu. Lalu sisanya melanjutkan perjalanan. Dari perspektif Widya, mereka bertemu dengan tapak tilas. Tapak tilas ini adalah sebuah batas dimana tidak boleh ada satu orang pun yang boleh melewati, di sisi kiri dan kanan terdapat kain merah lengkap dengan janur kuning seperti pernikahan. Pak Prabu menjelaskan bahwa ini adalah batas mereka melewati hutan. Apabila mereka melewati batas tersebut akan susah membantu apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sesampainya di rumah, Nur berbincang kepada Ayu bahwa ia khawatir dan memiliki firasat yang tidak enak tentang desa ini, mulanya dari awal Pak Prabu sudah menentang mereka untuk KKN di desa ini. Namun, Ayu menepis semua pikiran Nur.

Malam pun tiba, Nur, Ayu, dan Widya tidur satu kamar beralaskan tikar. Perasaan tidak enak mulai muncul di dada Nur, ketika Nur mencari cara untuk mengurangi rasa takutnya, ia justru melihat sosok bermata merah yang sedang mengintipnya dari sudut kamar yang minim cahaya. Nur terkejut dan menutupi seluruh mukanya dengan selimut dan membaca doa. Namun setiap selesai membaca doa tiba-tiba suara kayu yang digebrak justru terdengar, Nur pun menangis sampai dia tertidur.

Esoknya Widya mengajak Nur mandi, di desa tersebut terdapat suatu tempat yang dinamakan sinden, semacam candi kecil yang di dalamnya terdapat kolam yang dipakai untuk mandi. Nur bersedia namun ia meminta kepada Widya untuk mandi terlebih dahulu. Nur masuk untuk mandi terlebih dahulu, sedangkan Widya menjaga di depan. Tepat saat masuk di tempat itu, Nur langsung mencium bau amis layaknya daging busuk. Lalu Nur langsung mandi dengan tergesa-gesa, tetapi pada saat dia mandi, ia merasa ada yang menyentuh badannya bersamaan dengan air mengalir. Setelah ia perhatikan ternyata di dalam airnya dipenuhi dengan rambut. Nur pun terkejut dan segera menyelesaikan mandinya. Setelah ia selesai ia pun mencoba membuka pintu biliknya namun seakan ditahan seseorang dari luar, ia pun berteriak memanggil Widya untuk meminta membuka pintu, namun tidak ada jawaban dari Widya. Sampai Nur tersadar bahwa ada sesosok makhluk yang sangat besar hingga menyentuh langit-langit dari biliknya, Nur mencoba untuk menutup mata dan mencoba melempari makhluk tersebut dengan batu. Tiba-tiba saat pintu terbuka, Widya melihat Nur dengan tatapan bingung, namun Nur hanya diam saja. Widya pun masuk untuk mandi dan saat Nur menjaga di luar, ia mendengar suara kidung. Nur memanggil Widya sambil ia mencoba mengintip celah dari bilik pintu, namun yang ia lihat bukan Widya melainkan sesosok wanita cantik yang juga merupakan penari yang ia lihat tempo hari sedang membasuh badannya sambil berkidung. Nur melihat perempuan itu sambil bingung sampai perempuan itu menoleh dan melihat Nur dan ia hanya tersenyum. Dari perspektif Widya, ia sedang menunggu Nur mandi tiba-tiba suara air berhenti dan Widya mencoba memanggil Nur sambil menggedor-gedor pintu, tetapi Nur tidak menjawab. Tiba-tiba terdengar ada seseorang yang sedang berkidung bernyanyi seperti lagu jawa, suaranya lembut seperti seorang biduan. Lalu Widya berteriak memanggil Nur sambil menggedor-gedor pintu. Tiba-tiba Nur muncul dengan muka yang takut dan bingung. Ketika Widya mandi, ia merasa seakan ada yang melihat dia.

Nur merasa hal-hal mistis sering terjadi, akhirnya ia pergi ke rumah Pak Prabu. Sesampainya di rumah Pak Prabu, Pak Prabu sedang duduk dengan seorang kakek dan terdapat 3 gelas kopi seakan mereka sudah tahu bahwa Nur akan datang ke rumah Pak Prabu. Kakek tersebut bernama Mbah Buyut. Mbah Buyut pun meminta Nur untuk meminum kopi namun Nur menolak, tetapi karena Mbah Buyut meminta Nur untuk minum akhirnya ia meminumnya. Rasa kopinya aneh, tidak terlalu manis dan tercium aroma melati juga tidak ada ampasnya, padahal kopi tersebut merupakan kopi hitam pekat. Lalu Mbah Buyut bertanya kepada Nur alasan ia datang ke rumah Pak Prabu. Nur menjawab bahwa ia datang ke rumah Pak Prabu ingin bertanya mengapa ia selalu diikuti makhluk besar dan Nur juga bertanya apakah ia memiliki salah di desa ini. Lalu Mbah Buyut menjawab alasan Nur diikuti makhluk tersebut bukan karena kesalahan Nur tetapi ia membawa sesuatu dari luar. Singkat cerita, Nur ini ada yang menjaga namanya Mbah Dok, yang mana Mbah Dok tidak diterima oleh penduduk halus desa tersebut. Mbah Buyut pun meminta Nur kembali untuk menemuinya besok malam.

Nur pun kembali ke penginapan. Malam itu ia bermimpi panjang. Dia melihat Widya sedang memeluk ular seakan ular tersebut peliharaannya. Saat bermimpi, tiba-tiba Nur terbangun karena ada suara keras-keras dari luar rumahnya. Karena ia baru bangun, ia nampak bingung karena banyak orang disana.  Wahyu pun menceritakan kepada Nur bahwa Widya sedang menari sendiri ditengah gelapnya malam. Nur pun bingung dan sempat berpikir apakah kejadian tersebut ada hubungannya dengan mimpinya semalam. Dari sudut pandang Widya justru dia terbangun di tengah tidurnya dan melihat Nur keluar dari rumah. Terdengar suara gamelan dan tiba-tiba Nur menari mengikuti alunan gamelan. Ketika Widya melihat Nur sedang menari, ia mendekati Nur namun sosok Nur berubah menjadi menyeramkan. Tiba-tiba Widya dibangunkan dan ternyata Widya sendiri yang sedang menari di tengah sawah sendirian.

Keesokan harinya Nur mendatangi Mbah Buyut. Pada malam itu Pak Prabu dan Mbah Buyut membawa Nur ke batu dimana dia melihat genderuwo pertama kali. Disana Pak Prabu menggorok ayam dan menyiramkan darahnya ke batu tersebut. Mbah Buyut pun berkata kepada Nur bahwa ia sebentar lagi akan melihat salah satu dari ratusan ribu penghuni desa halus. Nur terdiam dan tak lama kemudian munculah sesosok genderuwo yang sedang menjilati darah ayam yang dikujurkan ke batu tersebut. Nur dan Mbah Dok tidak bisa di pisahkan karena mereka sudah satu jiwa, jika dipaksa dipisahkan Nur akan mati. Lalu Mbah buyut mendekati Nur dan menarik ubun-ubunnya. Tiba-tiba Nur sudah tidak bisa melihat makhluk-makhluk yang ada di desa tersebut.

Keesokan harinya, Nur sedang proker dengan Anton sedangkan Ayu dengan Bima, dan Wahyu dengan Widya. Anton bertanya bercerita kepada Nur bahwa akhir-akhir ini Bima terlihat aneh, Anton pun bercerita bahwa ia sering melihat dan mendengar Bima berbicara dan tersenyum sendirian. Bima juga kepergok sering membawa pulang sesajen dan meletakkannya dibawah ranjangnya. Nur pun terkejut dan tidak percaya karena Bima dikenal dengan sesosok laki-laki yang sangat religius. Namun Anton membuktikannya ke Nur dengan mengajaknya ke kamar Bima dan menunjukkan sesajen tepat di bawah ranjang Bima. Nur pun terkejut, karena tepat disesajen tersebut, terdapat foto Widya. Anton juga mempergoki bahwa terdapat suara perempuan di kamar Bima. Tetapi setelah melihat di kamar Bima, tidak ada sesosok perempuan di kamar Bima. Lalu Nur mendekati lemari Bima, tiba-tiba ada seekor ular hijau yang keluar di lemari tersebut. Sejak dihari itu, Nur selalu mengawasi Bima, dan ternyata benar, Bima melakukan semua yang diceritakan oleh Anton. Nur melihat Bima yang sedang menaburkan bunga, di tempat Widya selalu duduk.

Suatu magrib Nur sedang sholat, Widya duduk di ruang tengah. Ayu, Wahyu, dan Anton sedang duduk di teras sedangkan Bima pergi bersama Pak Prabu. Widya pun berjalan ke arah dapur, di sebelah kirinya Nur sedang sholat tetapi pada saat dia sampai di dapur tiba-tiba dia melihat Nur sedang minum. Karena kebingungan, Widya kembali lagi ke kamar. Akan tetapi saat kembali ke kamar tidak ada siapa-siapa di kamar tersebut. Nur pun bertanya menanyakan keadaan Widya, namun Widya hanya diam mematung. Akhirnya teman-teman yang lain menyusul ke dapur dan menyuruh Nur untuk memberi minum Widya. Di saat Widya minum, ia tersedak, tangannya masuk ke dalam mulutnya dan ternyata ia menemukan helaian rambut. Ternyata di dalam kendi tersebut terdapat gumpalan rambut. Widya langsung memuntahkannya. Namun anehnya Nur merasa tidak kenapa-kenapa setelah meminum air kendi yang sama. Di saat itu Anton mengatakan bahwa Widya sedang diincar atau dipelet. Tiba-tiba Nur bertanya apakah penari itu masih mengincar Widya karena ia jarang melihat penari tersebut. Semua langsung bingung. Nur langsung diam. Di saat semua bingung Nur menjauh dari Widya. Nur sempat mendengar Ayu dan Bima sedang berseteru. Meraka membahas tentang mahkota putih. Mahkota putih yang sebenarnya diberikan kepada Widya dipakai oleh Ayu. Mendengar percakapan tersebut Nur tampak bingung karena banyak hal-hal aneh yang terjadi.

Suatu hari Nur sedang jalan-jalan dan bertemu dengan tapak tilas. Tiba-tiba ada yang memanggil Nur. Nur pun berjalan dan melihat Ayu dan Bima melakukan hal yang tidak senonok tepat belakang gubuk. Di hari yang sama, Widya dan Wahyu ke kota untuk membeli barang-barang untuk proker mereka. Setelah mereka akan kembali, tiba-tiba motornya mogok. Beberapa laki-laki datang memberi bantuan kepada mereka. Motor mereka dibawa dan mereka disuruh masuk ke desa untuk ikut berpesta. Masuklah Widya dan Bima di pesta tersebut. Di sana terdapat makanan yang banyak dan lezat. Banyak orang-orang menari dan menyanyi. Wahyu makan sangat banyak dan menikmati pesta tersebut. Sampai selesai pesta, Wahyu dan Widya kembali ke penginapan, mereka dibawakan oleh-oleh yang dibungkus koran berisi makanan tadi. Sampai ke penginapan, Widya dan Wahyu bercerita kepada teman-temannya tentang kejadian tadi. Teman-teman yang lain pun tidak percaya karena tidak ada desa lagi kecuali desa ini. Namun Widya dan Wahyu tetap menyangkalnya dan menunjukkan oleh-olehnya yang tadi ia bawa. Namun saat membukanya Wahyu merasa aneh, karena awalnya makanan tersebut dibungkus dengan koran dan berubah menjadi daun pisang. Lalu setelah dibuka, ternyata bingkisan tersebut berisi kepala monyet yang masih segar dengan darah dan lendir. Setelah kejadian itu, Wahyu jatuh sakit selama tiga hari.

Waktu menunjukkan tengah malam. Nur, Widya, dan Ayu sedang tidur. Namun Nur terbangun, karena mengingat obrolan Ayu dan Bima tentang mahkota putih. Nur mengobrak-ngabrik tas Ayu. Nur pun terkejut karena di dalam tas Ayu terdapat selendang warna hijau. Ia teringat bahwa selendang itu pernah dipakai oleh penari yang ia temui sebelumnya. Tiba-tiba Nur mendengar suara gamelan dan melihat Widya dengan tatapan kosong. Widya berkata kepada Nur tentang nyawa dan tumbal dengan bahasa jawa yang halus hingga membuat Nur tidak mengerti apa yang diucapkan Widya, di akhir ia berkata kepada Nur untuk tidak meneruskannya dan Nur akan pulang dengan selamat. Nur bergegas mengembalikan selendang tersebut ke tas Ayu.

Keesokan harinya, Bima datang menemui Nur. Bima meminta maaf atas kejadian kemarin. Akhirnya Bima bercerita kepada Ayu, bahwa ia memelet Widya dengan mahkota putih yang diberi oleh sesosok Dawuh. Namun Ayu malah menyimpannya karena Ayu ternyata menyimpan rasa kepada Bima. Setelah itu Nur mendatangi Ayu, namun Ayu tidak bercerita apa-apa.

Malam hari, Nur tiba-tiba menghilang. Widya pulang namun penginapannya kosong. Teman-temannya entah pergi kemana dan suasananya gelap. Widya berjalan ke arah dapur dan melihat Nur duduk disana. Nur menatap lurus dan kosong ke arah Widya. Widya bertanya kepada Nur, mengapa ia ada disana. Nur hanya diam saja. Lalu merebahkan kepala ke kursi dan mulai berbicara dengan suara wanita tua. Ia berbicara apakah ia betah tinggal di desa ini dan ia juga berkata bahwa teman laki-lakinya sudah mengenal Badarawuhi. Widya pun mulai menangis dan ketakutan, ia mencoba untuk menyadarkan Nur. Namun Nur malah tertawa dengan keras dan berkata satu dari temenmu tidak akan bisa kembali. Ia meminta Widya untuk mengingatkan teman-temannya yang sedang membawa petaka, jika dibiarkan semuanya akan kena batunya di desa ini. Setelah mengatakan itu Nur pun berteriak keras sekali dan terjatuh. Kemudian Widya menggotong Nur ke kamar dan menunggunya sampai terbangun. Nur terbangun dengan keadaan memakai mukenah. Nur melihat wajah Widya yang nampak tegang. Lalu Widya bertanya kepada Nur, Sejak kapan ia bisa melihat hal-hal seperti itu. Nur pun akhirnya menjelaskan semuanya ke Widya kecuali insiden-insiden ganjil yang dia rasakan selama di dalam desa. Sejak saat itu, Nur semakin yakin bahwa ada sesuatu di desa tersebut. Nur membongkar barang-barang Widya, dan menemukan mahkota putih bentuknya seperti logam melingkar dengan bentuk ukiran kekuningan, sangat indah seperti perhiasan. Di tengahnya terdapat batu mulia berwarna hijau. Tanpa berpikir panjang, Nur pun teringat bahwa Ayu memiliki selendang hijau. Nur mengambilnya dan memasukkan ke dalam kotak, menutup dengan kain putih dan memasukkan kitab suci. Nur menyembunyikan kotak tersebut tepat di bawah meja kamar tertutup bersama taplak meja. Setelah itu, Nur langsung datang mencari Ayu. Ayu sedang mengerjakan prokernya, Nur menarik Ayu dan langsung menamparnya. Akhirnya Ayu menjelaskan apa yang terjadi. Ayu bercerita bahwa dia mempunyai selendang hijau tersebut untuk memikat Bima, tetapi ia tidak bercerita darimana dia mendapatkan selendang itu.

Menurut sudut pandang Nur. Suatu malam, Nur terbangun saat subuh. Ia mendengar Widya menangis keras. Ternyata Ayu pada saat itu sudah terbujur kaku, melotot, dan menganga seakan ia ingin mengatakan sesuatu. Nur kembali ke tempat Widya. Tetapi Widya tiba-tiba sudah tidak ada. Begitu pula Bima, tiba-tiba ia juga tidak ada. Nur akhirnya menyerahkan 2 benda yang tadi ia simpan yaitu mahkota dan selendang kepada Mbah Buyut. Namun respon Mbah Buyut dan Pak Prabu sangat terkejut. Mbah Buyut pun bertanya kepada Nur darimana ia mendapatkan benda tersebut. Nur pun menceritakan kejadiannya dan Mbah Buyut berkata bahwa benda tersebut adalah benda terlarang dan ia mengatakan bahwa temanmu terjebak dalam pusaran dan satu dari temanmu sudah ditemukan, akan tetapi rohnya belum. Tak lama kemudian Wahyu masuk dengan wajah pucat karena melihat Bima kejang-kejang seperti epilepsi. Mbah buyut kemudian bercerita bahwa sukma 2 orang temanmu sedang terjebak.  Namun ada satu temanmu yaitu Widya yang bukan hanya sukmanya yang hilang atau disesatkan melainkan raganya juga ikut disesatkan, ia adalah orang yang paling diinginkan Badarawuhi namun ia meleset.  Mbah buyut menunjukkan sikawaturi si mahkota tersebut, benda ini diletakkan di lengan seorang penari sebagai susuk dan Badarawuhi itu menginginkan benda untuk Widya namun Nur yang menemukannya sehingga membuat benda tersebut kehilangan pemilik yang artinya Nur memiliki tetapi Nur dilindungi Mbah Dok. Pak Prabu meminta agar Ayu dan Bima ditutupi oleh kain putih dan mengikatnya dengan tali kain kafan. Mbah buyut pergi ke kamar dan ia menjelma menjadi seekor anjing dengan ilmu kebatinannya.

Menurut sudut pandang Widya. Malam hari setelah rapat Widya teringat bahwa ada yang mengatakan Bima suka keluar di malam hari sendirian dan malam itu Widya benar-benar melihat Bima sedang sendirian, Widya pun masuk ke kamar Bima dan disana juga ada Wahyu dan Anton. Widya pun membangunkan Wahyu dan Anton ia berkata kepada mereka bahwa Bima sedang berjalan sendiri saat larut malam dan menyuruh mereka untuk mengikutinya. Wahyu menolak dan menganggap Bima sedang mengerjakan prokernya. Akhirnya Widya memutuskan mengikuti Bima. Ternyata Bima berjalan ke arah tapak tilas. Widya mulai mendengar senandung disertai alunan gamelan. Sampai di ujung tapak tilas Widya berjalan menyusuri semak-semak dan tidak bisa melewatinya. Tiba-tiba ia tersadar bahwa ia mengunyah tumbuhan-tumbuhan tersebut. Saat Widya sadar, tenggorokannya tersayat-sayat karena terkena batang-batang tumbuhan disana. Namun Widya tetap maju terus sampai menemukan celah untuk melihat Bima. Tiba-tiba ia melihat Bima sedang mandi berendam yang dikelilingi ratusan ular. Bima pun menoleh ke arah Widya dan ia pun lari pergi. Saat dia lari, ia mendengar suara tabuhan gong di ikuti suara gendang dan gamelan yang sangat keras serta suara ketawa yang bersahut-sahutan. Tiba-tiba Widya melihat banyak makhluk-makhluk aneh disanggar kosong. Makhluk tersebut ada yang melotot, ada yang wajahnya separuh, juga ada yang tidak memiliki wajah dan macam-macam lainnya. Widya pun menangis dan berhenti, ia melihat di depannya seorang perempuan menari. Tariannya membuat semua mata tertuju ke arahnya, ia perhatikan ternyata perempuan itu adalah Ayu. Matanya Ayu sembab seperti setelah menangis. Ayu menyuruh Widya untuk lari. Tanpa tahu apa yang terjadi, Widya pun lari melewati kerumunan yang menonton Ayu menari. Sambil menangis Widya tetep berlari hingga dia keluar dari tapak tilas. Ia melihat ada jalan setapak dan melihat seekor anjing, Widya pun mengikutinya. Setelah Widya sampai Pak Prabu dan Mbah Buyut bercerita bahwa teman kalian Ayu dan Bima telah melakukan sesuatu yang semestinya tidak boleh dilakukan di tempat terlarang yaitu di tapak tilas. Hingga akhirnya pak Prabu bercerita tentang rahasia desa ini. Jadi tapak tilas ini adalah tempat yang digunakan penduduk desa untuk mengadakan pertunjukkan tari. Namun bukan untuk manusia, melainkan untuk bangsa jin yang tinggal di hutan. Dulu tarian-tarian tersebut dilakukan agar jin-jin yang di hutan tidak mengganggu penduduk desa, tetapi seiring berjalannya waktu ternyata penari-penari tersebut ditumbalkan. Penari yang memenuhi kriteria untuk ditumbalkan adalah penari yang masib perawan. Nur pun membantah, menanyakan tentang Ayu. Menurut asumsi Pak Prabu sejak awal Ayu menjadi perantara Widya lewat Bima, akan tetapi Ayu tidak memenuhi tugasnya, sehingga Ayu dibuatkan jalan pintas, ia diberi selendang hijau tersebut.

Di akhir cerita, diceritakan bahwa pihak kampus dan keluarga datang menjemput mereka. Mas Ilham pun meminta Nur untuk menemani Ayu selama proses penyembuhan. Dokter angkat tangan sebab Ayu lumpuh total karena tidak ada penyebabnya. Ibunya Ayu sering melihat Ayu meneteskan air mata, namun sekujur badannya tetap kaku. Hingga Ayu meninggal dunia tiga bulan setelah kejadian akhir itu. Keluarganya pun mengikhlaskan kepergiannya. Bima akhirnya meninggal dunia. Tetapi di malam sebelum ia meninggal, ia sempat berteriak ular-ular dan itu merupakan kata-kata terakhir Bima.

Pesan moral yang dapat diambil dari cerita ini adalah ketika kita memasuki desa atau tempat yang baru, kita diharapkan mematuhi aturan dan adab yang telah ditetapkan di tempat tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Papulosquamous disorders